Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Yohanes Nugroho Hari Hardono telah membuktikannya. Dari pupuk, bisnis Grup Saraswanti menggurita hingga ke berbagai sektor usaha lain seperti perkebunan, properti, pabrik kertas, dan laboratorium. Omset mencapai Rp 2,3 triliun pertahun.

Tak punya cukup modal untuk memiliki pabrik pupuk NPK, Hari, panggilan akrabnya, tak patah arang. Ia membuat sendiri mesin sederhana di bengkel-bengkel kecil miliknya untuk menghasilkan pupuk yang tak kalah bagus dengan pupuk granul. Modalnya datang dari utang sebesar Rp 600 juta untuk pabrik dan produksi dengan sistem NPK briket sekitar 8 ton perhari. “Padahal, untuk punya pabrik dengan kapasitas produksi 60 ribu ton pertahun, investasinya Rp 70 miliar pada tahun 1998. Modal kerjanya, Rp 150-200 miliar. Produksi kami terus naik sehingga mesin pun terus ditambah. Sewa gudang juga meluas. Inilah titik awal PT Saraswanti Anugerah Makmur,” katanya.

Sistem NPK briket adalah satu-satunya temuan Hari dan hanya ada satu-satunya di dunia. Ia terinspirasi dari mesin urea briket. Kemudian, ia melakukan percobaan urutan pencampuran berikut jenis-jenis logamnya. Dengan bantuan rekan yang ahli membuat mesin, mesin NPK briket pun tercipta. Terobosan lain adalah kerjasama dengan pusat penelitian perkebunan dengan biaya dari kantong sendiri. Kontribusi penjualan dari kerjasama ini bisa lebih dari 60%. Terakhir, dengan 5 pusat penelitian, pada tahun 2015, memberi kontribusi penjualan hingga Rp 12 miliar pertahun. “Saya hanya tukang jahit. Resepnya dari pusat penelitian,” kata Hari merendah.

Ia melebarkan bisnis dengan mendirikan lab swasta yang bisa melakukan analisis dan akreditasi pada tahun 2001. Niat itu muncul seiring hadirnya Peraturan Pemerintah yang mengharuskan seluruh bahan pangan yang dijual mendapat akreditasi Genetically Modified Organism (GMO) atau non GMO. Setelah mendapat akreditasi, ternyata pasar tidak tumbuh sesuai bayangannya. Selama empat tahun, bisnisnya babak-belur dan harus berdarah-darah. Ia pun mencari celah yakni keamanan dan ketahanan pangan. Sebagai pemain kecil, ia lebih lincah dan bisa menawarkan harga yang lebih murah hingga 75% dan tentu saja terakreditasi. Inilah yang membuat bisnis labnya melaju pesat. “Kalau pada 2005 hanya Rp 8 miliar, pada tahun 2015 sudah naik menjadi Rp 80-100 miliar. Pada tahun 2016, ia menargetkan pertumbuhan sekitar 20%,” katanya.

Hari mencoba peruntungannya di kelapa sawit pada tahun 2003. Perusahaannya mendapat izin lokasi 10 ribu hektar di Kalimantan Timur, 6 ribu diantaranya berstatus Hak Guna Usaha. Penanaman perdana dilakukan dua tahun berselang. Saat ini, ia tengah mengembangkan perkebunan seluas 4 ribu hektar di Kalimantan Barat dan 6 ribu hektar di Sumatera Selatan. Total lahan sawit miliknya mencapai 22 ribu hektar. Itu belum termasuk lahan cadangan sekitar 18 ribu hektar di Sumatera Selatan, yakni sudah dapat izin lokasi, tapi belum digarap. Ia harus merogoh kocek untuk investasi pabrik dengan kapasitas 45 ton perhari sekitar Rp 135 miliar. Untuk pabrik yang kapasitasnya 30 ton, investasinya sekitar Rp 90 miliar. “Saat harga CPO sedang turun, tidak ada jalan lain selain efisiensi dan menunda investasi seperti pembelian alat berat diganti menjadi sewa. Pembangunan mess karyawan juga ditunda. Tahun lalu, omset dari sawit sekitar Rp 75 miliar. Tahun 2016 pasti tumbuh, tapi harganya tidak tahu. Produksi terus naik dan kami hanya menjual di dalam negeri,” katanya. (Reportase: Darandono)

Dikutip dari Majalah SWA Online