Kekuatan Tanpa Cinta Kasih adalah Kezaliman
Investor Daily. Senin, 29 Agustus 2016
Sebagai chief executive officer (CEO) sekaligus pendiri dan pemilik modal mayoritas Saraswanti Group yang omzetnya triliunan rupiah, penampilan Yohanes Nugroho Hari Hardono cukup sederhana. Gara-gara kesahajaannya itu, satpam di laboratorium (lab) miliknya pernah mencegat dan memaksanya menunggu di pintu masuk.
“Maaf, Bapak siapa, dari mana dan mau bertemu siapa?” kata pengusaha yang akrab dipanggil Hari itu, menirukan ucapan satpam.
Dengan sabar, ia pun menunggu kepala lab keluar menemuinya. Rupanya, itu bukan kenangan tak terlupakan pertama Hari di labnya. Ia juga pernah dicemooh karena mempertahankan lab yang sudah berdarah-darah.
“Saya bukan orang kaya, tetapi kerugian lab itu masih lebih kecil dibanding gengsi saya kalau menutupnya,” ujar Hari kepada wartawan Investor Daily Amrozi Amenan di Surabaya, pekan lalu.
Tapi karena gengsi itu, pria kelahiran Ambarawa, 27 Juni 1963, ini justru termotivasi mencari solusi. Berkat keuletan dan kegigihannya, hanya dalam tempo setahun Hari mampu menyulap labnya dari rugi menjadi untung. Putra pasangan Haroen Hadi Soenaryo dan Soewarni ini memulai bisnis dengan mendirikan pabrik pupuk. Baru kemudian ia merambah bisnis laboratorium, properti, hotel, dan transportasi.
Mengapa Hari memegang teguh filosofi cinta kasih tanpa kekuatan adalah kelemahan? Benarkah kekuatan tanpa cinta kasih adalah kezaliman? Mengapa bisnis tak semata-mata soal menang atau kalah? Berikut petikan lengkap wawancara tersebut.
Bisa diceritakan perjalanan karier Anda?
Setelah lulus dari Fakultas Pertanian Jurusan Tanah di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1987, saya langsung bekerja di perusahaan keluarga di Gresik, yang memproduksi pupuk alam atau dolomite. Saya keluar dari perusahaan itu pada akhir 1998 dengan jabatan terakhir sebagai general manager (GM).
Saya memilih buka bisnis sendiri. Keputusan yang tak gampang karena saat itu krisis moneter. Tantangan berbisnis sendiri jauh lebih berat dibandingkan tetap bekerja di perusahaan itu. Tapi keputusan saya sudah bulat. Saya dirikan pabrik pupuk. Saya dibantu adik saya, Adhi Harsanto. Saat itu, tabungan saya hanya Rp 50 juta.
Modal awalnya dari mana?
Bondo nekat. Saya sebetulnya tak punya cukup modal untuk memiliki pabrik pupuk. Pada 1998, untuk punya pabrik pupuk dengan kapasitas produksi 60 ribu ton per tahun butuh investasi sekitar Rp 70 miliar dan modal kerja Rp 150-200 miliar. Tapi itu tak membuat saya putus asa.
Saya selalu yakin setiap ada kemauan pasti ada jalan Beruntung saya punya temanteman baik. Modal awal banyak dibantu mereka. Ada uang terkumpul Rp 230 juta untuk menyewa gudang dan kantor, memasang listrik, mencicil mesin produksi, dan lain sebagainya. Saya juga bersyukur, seorang kolega saya pemilik pabrik mesin meminjamkan seperangkat mesinnya.
Begitu pula saat mengurus perizinan pendirian pabrik, kemudahan datang dari Departemen Perindustrian yang menawarkan 60 pekerja siap pakai. Tapi, dari tawaran itu, saya cuma sanggup menampung separuhnya.
Kenapa Anda pilih bisnis pupuk?
Sekitar 11 tahun saya bekerja di perusahaan pupuk dolomite. Tapi perusahaan yang saya dirikan ini awalnya bukan memproduksi pupuk dolomite, melainkan pupuk NPK, pupuk majemuk berbahan baku natrium, phosphate, dan kalium.
Saya memilih pupuk NPK karena saya yakin pupuk jenis ini bakal laku dan dibutuhkan. Masuknya pupuk NPK impor ke perkebunan swasta menunjukkan pasar kita memang bagus. Kita nggak boleh kalah oleh pupuk impor.
Pabrik pupuk kami mulai beroperasi pertengahan 1998 dengan memproduksi pupuk NPK dalam bentuk tablet yang merupakan inovasi baru. Tahun pertama beroperasi, pabrik NPK kami memproduksi 100 ton per tahun dengan omzet Rp 3,8 miliar. Tahun ketiga, pabrik bisa berproduksi dalam kapasitas penuh.
Strategi Anda waktu itu?
Saya menggandeng pakar pertanian dan perkebunan, misalnya Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia dalam memproduksi pupuk NPK briket dengan merek Halei dan Pusat Penelitian Karet untuk memproduksi pupuk NPK merek Pukelat. Untuk memasarkannya, saya terjun sendiri ke lapangan. Mesin skala kecil kami sangat menguntungkan untuk memenuhi permintaan pelanggan kecil.
Tahun kedua, omzetnya naik dua kali lipat lebih sebesar Rp 8,4 miliar, tahun ketiga Rp 14,5 miliar, dan tahun berikutnya Rp 23 miliar. Lonjakan omzet paling tinggi terjadi pada 2008, dari Rp 250 miliar menjadi Rp 750 miliar. Sejak 2012, omzet bisnis pupuk mencapai Rp 1 triliun lebih.
Cerita sampai merambah bisnis lain?
Saya merintis bisnis perkebunan sawit pada 2003. Kami mengantongi izin konsesi lahan seluas 67 ribu hektare (ha). Yang sudah ditanami seluas 16 ribu hingga 20 ribu ha, tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Tahun lalu, omzet sawit sekitar Rp 75 miliar. Kami hanya menjualnya di dalam negeri. Di Pulau Jawa, kami punya lahan 400
ha, ditanami aneka komoditas, seperti tebu, karet, cengkeh, dan anggrek.
Di bisnis properti kami benar-benar mulai dari kecil. Saya masuk properti pada 2015. Dari beli tanah cuma beberapa ribu meter di Yogyakarta. Tadinya saya berencana mengembangkan tiga rumah di tengah kota, semaca town house. Namun, sepertinya pasar waktu itu tidak bisa menerimanya. Saya lalu menjual tanah itu dan mencarikan penggantinya agak ke pinggir kota.
Di situ, saya bangun 21 rumah kecil-kecil, tipe 21 dan 36. Dalam tiga bulan, rumah habis terjual. Saya lalu membangun 200 rumah lagi, juga ludes terjual. Dalam dua tahun bikin rumah lagi di lahan 3 ha, eh juga habis terjual. Dari situ saya membangun hotel, ballroom, apartemen, kondotel, dan perkantoran di Yogyakarta, lalu ke Surabaya.
Saya menggandeng investor, seperti Hotel Alana Surabaya dan Alana Yogyakarta yang dikelola Aston International, Apartemen Mataram City Yogyakarta oleh Jones Lang LaSalle (JLL), dan Graha Indoland Yogyakarta oleh Melia Hotels International. Khusus untuk gedung perkantoran, saya bangun di Surabaya, yaitu AMG Tower dan kami percayakan pengelolaannya kepada Colliers International
Bisnis lain yang Anda garap?
Kami pun mendirikan laboratorium, tapi itu sebetulnya by accident. Ceritanya, ada peraturan pemerintah (PP) tahun 1999 yang mengharuskan seluruh bahan pangan yang dijual mendapat akreditasi genetically modified organism (GMO) atau non-GMO.
Dalam benak saya kala itu, PP ini memberi peluang bisnis baru. Lagipula, waktu itu di dalam negeri belum ada lab swasta yang khusus melakukan analisis dan akreditasi produk transgenik. Maka saya bangun lab transgenik meskipun modalnya besar. Tapi setelah lab dioperasikan pada 2001 hingga 2004, PP-nya ternyata tak berjalan mulus.
Tak ada konsumen yang datang. Semua orang bilang tutup saja. Saya bilang, saya bukan orang kaya, tapi kerugian lab masih lebih kecil dibanding gengsi saya kalau menutupnya. Karena ucapan ini, saya malah dibilang sombong. Tapi gengsi ini memotivasi saya, sampai akhirnya menemukan ide menjadikan lab sebagai uji keamanan pangan. Itu berjalan setahun dan sejak saat itu lab menemui titik balik.
Kami terus kembangkan ke lab lingkungan, kosmetik, dan kesehatan manusia. Lab lingkungan sudah beroperasi mulai 2010. Lab pangan tetap kami perkuat, investasi terus. Kami joint dengan dosen IPB dan pakar lingkungan.
Sebagai pemain kecil, kami lebih lincah dan bisa menawarkan harga lebih murah hingga 75% dan tentu saja terakreditasi. Inilah yang membuat bisnis lab melaju pesat. Kalau pada 2005 omzetnya hanya Rp 8 miliar, pada 2015 naik menjadi Rp 80-100 miliar, dan pada 2016 ditargetkan tumbuh sekitar 20%.
Kinerja keuangan Saraswanti Group seperti apa?
Saat ini ada 30 perusahaan di bawah bendera Saraswanti Group yang menaungi berbagai lini usaha, seperti laboratorium, perkebunan, properti, transportasi, dan lainnya. Rapor mereka akhir tahun lalu hampir semua growth meskipun keuntungan sedikit turun.
Strategi Anda memajukan perusahaan?
Masing-masing divisi bisnis punya strategi sendiri. Di bisnis pupuk, misalnya, kami perkuat kerja sama dengan lembaga penelitian. Terus kami tambah kuantum produksi dengan menambah pabrik dan mendekati pengguna di sektor perkebunan. Selain di Mojokerto, kami kembangkan pabrik pupuk di Medan dan Palembang. Tahun ini ada tambahan dua pabrik pupuk NPK baru, satu di Medan dan lainnya di Sampit, Kalimantan Tengah (Kalteng), masing-masing berkapasitas 100 ton per tahun.
Selain untuk mendekatkan diri ke sentra produksi pertanian dan perkebunan, pembangunan pabrik baru di Sumatera Utara (Sumut) dan Kalteng dimaksudkan untuk menekan biaya pengiriman, sehingga pupuk kami kompetitif. Dengan tambahan pabrik sekarang, total pabrik pupuk NPK saat ini ada empat unit dengan kapasitas produksi 460 ribu ton.
Sedangkan pupuk dolomite 120 ribu ton. Dalam 2-3 tahun ke depan, kapasitas pabrik pupuk bisa mencapai 700-800 ribu ton. Saat ini, lini usaha pupuk menyumbang 65% terhadap total pendapatan Saraswanti Group.
Belajar Dari Alam
Anda punya gaya kepemimpinan seperti apa?
Saya memperlakukan karyawan sebagai teman. Tanpa mereka, saya nggak bisa apa-apa. Tapi saya juga marah kalau umpamanya karyawan bertindak seenaknya. Saya bukan atasan mereka, tapi teman. Pengalaman yang lalu mengajarkan saya harus memiliki sikap itu.
Memperlakukan karyawan seenaknya adalah salah besar. Saya bilang, ayo kita bangun dan nikmati bersama sesuai hak dan kewajiban. Saya juga tidak buta, mana yang berkontribusi lebih. Sekecil apapun kontribusinya pasti ada imbalannya. Sebaliknya, kalau tidak berkontribusi, apalagi nakal, mending keluar saja. Saya selalu berbuat apapun atau memperlakukan orang dengan mengukur diri saya sendiri. Kalau saya tidak mau diperlakukan seperti ini, saya juga tak akan memperlakukan orang lain seperti ini.
Peran keluarga terhadap karier Anda?
Saya nomor lima dari tujuh bersaudara. Waktu kecil, saya suka main di sungai. Saya anak bandel, suka berantem meski postur tubuh saya kecil dan kurus. Sewaktu di SMP dan SMA, di antara temanteman sekelas, saya paling muda karena saya masuk lebih cepat.
Bapak saya pensiunan guru Sekolah Teknik Menengah (STM) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Setelah pensiun pada 1967, bapak saya pulang ke Ambarawa. Tak ada kegiatan dan pemasukan karena dia bukan pegawai negeri. Maka sejak pensiun, bapak saya memanfaatkan mobil Holden-nya untuk disewakan.
Tapi usaha itu tak berjalan lama. Ketika mobil Colt tahun 70-an masuk, usaha sewa mobil dapat pesaing dan gulung tikar. Dia lalu membuka usaha obras dan sewa meja biliar. Sejak 1974, dia mulai merintis usaha bengkel las. Sejak SMP sampai SMA, kalau misalnya saya ingin tambahan uang jajan, bapak mesti menyuruh saya mengecat kursi. Lumayan dapat Rp 25 per kursi.
Ibu saya membuka warung di rumah. Kakak saya yang laki-laki sekolah STM di Pekalongan. Jadi, saya anak laki satu-satunya di rumah yang sering disuruh ibu berbelanja ke pasar. Itu mungkin yang mengajarkan saya berbisnis. Bapak dan ibu saya sangat ulet, pekerja keras. Nilai-nilai itu saya terapkan di bisnis. Ibu saya masih ada di Ambarawa, ayah sudah meninggal setahun lalu. Seperti saudara yang lain, setiap minggu saya dapat giliran pulang menjenguk ibu. Itu wajib, sebagai wujud bakti anak kepada orang tua.
Bagaimana Anda membagiwaktu untuk istri dan anak-anak?
Istri dan dua anak saya yang masih SMP ada di Surabaya. Anak saya yang satunya sekolah di Perth, Australia. Meski frekuensi pertemuan lebih sedikit karena kesibukan kerja, saya setiap hari berkomunikasi dan menyisihkan waktu untuk mereka, terutama Sabtu dan Minggu. Di luar itu, setiap ada kesempatan, saya ajak mereka makan bersama.
Filosofi hidup Anda?
Dari bela diri, saya memperoleh filosofi hidup yang begitu dalam saya hayati, yaitu cinta kasih tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan tanpa cinta kasih adalah kezaliman. Aplikasinya banyak. Dalam bisnis, berarti mesti tetap kuat tanpa meninggalkan cinta kasih. Bisnis tak semata-mata soal menang dan semua diambil, tapi harus kuat. Ini juga bisa dikaitkan dengan leadership. Ada lagi, yaitu berpikir dengan data, bicara dengan data, tapi kalau ada data jangan mudah percaya. Semua harus di-back up data, nggak asal bunyi. (*)